Laman

Sabtu, 25 Februari 2012

Kasih Sayang Seorang Ibu


Sewaktu masih kecil, kita sering merasa dijadikan pembantu olehnya.Ia selalu menyuruh kita mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepel setiap pagi dan sore. Setiap hari, kita ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adik kita bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkan kita bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, kita pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang kita merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya kita selalu bersungut-sungut.

Esok, setelah dewasa kita mengerti mengapa dulu ia melakukan itu semua. Karena kita besok juga akan menjadi seorang istri atau suami, ibu dari anak-anak kita yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecil kita dulu. 

Saat pertama kali kita masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarkan hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kita melihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Ia tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting kita senang ditunggui sampai bel berbunyi.

Esok, setelah kita besar, mungkin kita malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah kita menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolongan kita disaat tubuhnya melemah. 

Di usia kita yang menanjak remaja, kita sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilan kita yang trendi. Bahkan seringkali kita sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka kita sedang bersamanya.

Padahal, sejak kita kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikan kita pakaian yang bagus-bagus agar kita terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuh kita dari sisa uang belanja bulanannya. 

Padahal juga kita tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajari kita berjalan. Ia mengangkat tubuh kita ketika kita terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekap kita erat-erat saat kita menangis.

Mungkin nanti selepas SMA, ketika kita mulai memasuki dunia baru di perguruan tinggi. Kita semakin merasa jauh berbeda dengannya. Kita yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara kita dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru kita mengerti, ibu yang kita anggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kita raih. Tanpa Ibu, kita tak akan pernah menjadi kita yang sekarang.

Dan nanti pada hari pernikahan kita, ia menggandeng kita menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kita pandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suami kita. Usai akad nikah, ia langsung mencium kita saat kita bersimpuh di kakinya. Saat itulah kita akan sadar, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika kita terlahir ke dunia ini.

Kini setelah kita sibuk dengan urusan rumah tangga, kita tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Kita sangat ingin menjadi orang tua yang baik hingga tak jarang kita membunuh kerinduan kita pada Ibu. Sungguh kelak besok setelah kita mempunyai anak, kita baru tahu bahwa segala kiriman uang setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiran kita untuknya.

Sadarlah ibu melakukan semua ini karena ia sayang kepada kita. Jagalah ibumu selagi dia masih dapat bernafas. Di dunia tidak ada yang rela mati demi kita kecuali ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar